Selasa, 30 Agustus 2016

Sengketa Klaim Asuransi Jiwa: Haruskah Tertanggung Mengetahui Dirinya Sedang Menderita Suatu Penyakit?

 

 

Data dan Fakta

Seorang karyawan Kementerian Perdagangan di Denpasar, membeli sebuah polis unit-link yang kedua tanggal 23 Desember 2008 (polis asuransi efektif mulai 01 Desember 2008 s/d 30 Novenber 2042 atau 34 tahun) atas nama dirinya. sedangkan polis pertamanya di jual (surrender) tanggal 4 Maret 2009 untuk tambahan biaya tour bersama anak-anak dan suaminya ke luar negeri tanggal 23 Maret 2009.

Premi tahunan sebesar Rp20.000.000,- , dibayar setiap tahun selama 5 tahun. Adapun polisnya adalah non-medical dan semua proses pengajuan polis baru telah dipenuhi sesuai prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan asuransi.{Baca : Tips Memilih Asuransi}

Tanggal 29 Maret 2009, setelah pulang dari tournya ke luar negeri, Tertanggung menderita sakit batuk-batuk, lalu ia melakukan konsultasi dan pengobatan ke Dokter Spesialis Penyakit Paru pada tanggal-tanggal 11 April 2009; 13 April 2009; 14 April 2009 dan 20 April 2009. Pada pemeriksaan tanggal 20 April 2009 ini Tertanggung mengetahui dirinya menderita penyakit kanker, berdasarkan hasil pemeriksaan dan diagnosa dokter. Pengobatan dilanjutkan 21 April 2009; 24 April 2009; 28 April 2009 dan terakhir tanggal 1 Mei 2009. {Baca : Asuransi Jiwa}

Tanggal 5 Mei 2009 sampai 15 Mei 2009 Tertanggung berobat di RS St. Carolus Jakarta, ditangani oleh Dokter Spesialis Penyakit Kanker dengan diagnosis : 1. Pneumonia 2. Adenoca Paru kiri dengan efusi pleura kiri, 3. Tidak didapatkan TB pada pasien ini.

Tanggal 25 Mei 2009 Tertanggung berobat di RS Gleneagles Medical Centre di Singapura dengan tujuan meminta second opinion. {Baca : UU Perlindungan Konsumen}

Setelah kembali dari pengobatan di Singapura, Tertanggung sempat beristirahat di rumahnya. Pada tanggal 2 Juni 2009 pernapasannya agak terganggu dan kondisi badannya melemah. Ia segera diantar keluarganya ke RS Bali Medistra, Denpasar. Selama dirawat di RS ini kondisi kesehatannya menurun dan akhirnya pada tanggal 6 Juni 2009 jam 01.00 pagi Tertanggung meninggal dunia. {Baca : Polis Asuransi}

Dokter terakhir yang menangani Tertanggung memberikan diagnosis pada surat keterangan dokter sebagai kelengkapan pengajuan klaim kematian tertanggal 16 Juni 2009, pada item 2 menyebutkan: ……keluhan sakitnya 6 (enam) bulan sebelumnya.

Atas dasar keterangan dokter terakhir yang merawat Tertanggung tersebut, pihak perusahaan asuransi menolak membayar klaim dengan alasan:
  • Tertanggung diasumsikan telah mengetahui dirinya menderita penyakit kanker paru-paru berdasarkan Surat Keterangan Dokter RS Bali Medistra yang menyatakan bahwa tertanggung sejak 6 bulan sebelumnya menderita Ca Paru Stadium-IV (Kanker paru-paru stadium-IV). Artinya jika dihitung mundur dari waktu Tertanggung meninggal tanggal 6 Juni 2009 hingga saat Tertanggung membeli polis asuransi tanggal 23 Desember 2008, ia pasti sudah mengetahui dirinya menderita penyakit tersebut.
  • Tertanggung dinyatakan telah melanggar prinsip iktikad baik, karena tidak memberikan keterangan yang sebenarnya pada saat pengisian aplikasi (SPAJ) pada Bagian pertanyaan IX No.9.

Hasil Mediasi

Pemohon mengajukan sengketanya ke BMAI tanggal 19 Oktober 2009. Proses mediasi berjalan dengan baik, akan tetapi tidak ada kata sepakat, karena masing-masing pihak mempertahankan pendiriannya. Pada tanggal 8 Februari 2010 perusahaan asuransi tetap pada keputusannya untuk menolak membayar klaim Termohon. {Baca : Klasifikasi Asuransi}

Pertimbangan Majelis Ajudikasi

Dengan tidak adanya kata sepakat, maka sengketa ini dilanjutkan oleh Pemohon ke jenjang ajudikasi tanggal 16 Februari 2010. Majelis Ajudikasi memeriksa dan memutuskan, Termohon harus membayar klaim dengan pertimbangan sebagai berikut:
  • Dokter terakhir yang menangani Tertanggung yaitu Dokter RS Bali Medistra pada tanggal 12 Oktober 2009 telah membuat koreksi atas surat keterangan awalnya menjadi : “Berdasarkan penelusuran catatan medik yang bersangkutan di tempat kami dan catatan medik dokter yang memeriksa sebelumnya, fotocopy data terlampir, bahwa keluhan sakitnya (batuk berdahak) dirasakan kurang lebih 2 (dua) bulan sebelumnya.
  • Tertanggung tidak mengetahui dirinya menderita penyakit kanker pada saat membeli polis asuransi yang kedua tanggal 23 Desember 2008. Ia baru menyadari dirinya menderita penyakit kanker paru-paru setelah pulang dari tournya keluar negeri yaitu saat pemeriksaan yang keempat oleh Dokter RS St. Carolus tanggal 20 April 2009.
  • Termohon tidak dapat membuktikan bahwa Tertanggung telah menyadari dirinya menderita penyakit sebelum atau pada saat membeli polis asuransi kedua, tetapi hanya berdasarkan asumsi atas keterangan yang diberikan oleh dokter yang merawatnya. Oleh karenanya Tertanggung tidak dapat dianggap melanggar prinsip-prinsip iktikad baik (utmost good faith).
  • Jika Tertanggung sungguh beriktikad tidak baik, maka Tertanggung tidak mungkin menjual polis pertamanya tanggal 4 Maret 2009 atau 3 bulan sebelum Tertanggung meninggal dunia.

Analisis

Seorang dokter dapat saja membuat suatu kekeliruan. Terbukti ia telah meralat keterangan yang diberikannya terdahulu. Seorang calon Tertanggung boleh saja tidak menyadari bahwa ia tengah menderita sesuatu penyakit pada saat ia membeli asuransi, karena ia jarang ke dokter atau karena keawamannya atau mungkin ia tidak pandai membaca gejala adanya suatu penyakit. Ia pun dapat saja berbohong. Namun logika mengatakan, jika ia sungguh mengetahui dirinya menderita sesuatu penyakit ia tidak akan menjual polis pertamanya.

Pembelajaran

  • Hendaknya Penanggung lebih cermat dalam melakukan investigasi klaim, sehingga setiap keputusan penolakan klaim tidak mudah dibantah. Oleh karena dokter pun dapat membuat kekeliruan, sebaiknya dilakukan klarifikasi dengan dokter pembuat keterangan medik. Meminta pendapat dokter ahli lain tentu akan membantu.
  • Menjual polis asuransi tanpa pemeriksaan dokter (non-medical) senantiasa mempunyai risiko dan konsekuensi. Hal ini dimaklumi benar oleh Penanggung ketika produk tersebut diciptakan. Penjual dan underwriter perlu lebih peka pada saat menerima permohonan produk ini.
Jika Anda Memerlukan Asuransi 

Icon WhatsApp
WhatsApp
No: 0838 9312 8913

Jumat, 08 Januari 2016

Perusahaan Asuransi akan lebih mudah mengeluarkan produknya



JAKARTA, kabarbisnis.com: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan, ke depannya perusahaan asuransi akan lebih mudah mengeluarkan produknya. Asalkan, perusahaan asuransi melakukan standarisasi produk yang telah ditetapkan OJK. {Baca : UU No.2 Thn 1992}

Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Dumoly F. Pardede menjamin, dengan adanya POJK Nomor 23 Tentang Produk Asuransi dan Pemasaran yang dirilis Januari ini, persetujuan pengeluaran produk asuransi akan lebih mudah.

"Kami tidak perlu mengeluarkan persetujuan untuk produk asuransi yang standard. Cukup melaporkan saja dalam rencana bisnis setahun dan mereka langsung bisa jualan. Namun, kalau produk asuransinya ada unsur tambahan atau raider, tetap harus melalui persetujuan OJK. Yang penting, produknya telah sesuai standard POJK yang baru," terang Dumoly, Kamis (7/1/2016). {Baca : Asuransi Kebakaran}

Namun, lanjut Dumoly, perusahaan yang bisa menelurkan produk asuransi baru harus memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan dan tidak sedang terkena sanksi administratif.
Khusus perusahaan yang memasarkan produk asuransi kredit atau suretyship, harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang persyaratan usaha asuransi kredit atau suretyship.

Sebelumnya, Firdaus Djealani, Anggota Komisioner OJK menjelaskan, mekanismenya perusahaan asuransi yang ingin meluncurkan produk asuransi hanya perlu melaporkannya lewat jalur online. Setelah produk tersebut dijual ke pasar, perusahaan asuransi wajib lapor.{Baca Asuransi Kendaraan Bermotor}

Firdaus mengarisbawahi, jenis produk asuransi yang bisa ditawarkan tanpa izin terlebih dahulu hanya sejumlah produk seperti: asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi kredit dan asuransi mikro.
Alasan OJK untuk membebaskan perolehan izin produk asuransi untuk meningkatkan penetrasi pasar bisnis tersebut. "Ini bisa mendongkrak perolehan premi baru. Namun, khusus produk yang berisiko dan kompleks tetap harus izin dari OJK," tegas Firdaus. kbc10



Jika Anda Memerlukan Asuransi 

Icon WhatsApp
WhatsApp
No: 0838 9312 8913

Dua broker asuransi asing siap masuk Indonesia


JAKARTA, kabarbisnis.com: Upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meningkatkan retensi sendiri asuransi dan kewajiban dukungan reasuransi lokal langsung ditangkap reasuransi dan broker asing. Kabar terbaru, dua pialang reasuransi asing siap melebarkan sayap bisnis ke Indonesia.

Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Yasril Y Rasyid mengatakan, dua perusahaan tersebut akan membuat perusahaan joint venture di Indonesia. Langkah tersebut untuk menyiasati bisnis perantara ke reasuransi asing yang bisa tergerus akibat kewajiban bagi perusahaan asuransi di Indonesia memakai reasuransi lokal.{Baca : Metode Reasuransi}

Dus, para pialang asing itu pun mulai melihat potensi menjadi broker untuk reasuransi lokal. "Tapi, mereka harus berbadan hukum Indonesia," kata Yasril, Senin (21/9/2015).{Baca : Reasuransi & Koasuransi}
Sayang Yasril enggan menyebut nama pialang reasuransi asing yang hendak masuk ke Indonesia itu. Tapi sembari menunggu izin, broker asing tersebut akan bekerjasama dengan broker lokal.

Sementara di bisnis reasuransi, sejumlah investor asing juga berniat membuka perusahaan reasuransi baru atau menjadi pemegang saham dari perusahaan yang sudah ada.
Namun, menurut Yasril, langkah tersebut terhalang karena reasuransi asing ingin menjadi pemegang saham mayoritas. Sedangkan, investor lokal tak ingin banyak melepas saham.
Tapi sejatinya, saat ini dukungan reasuransi asing berkapasitas besar masih dibutuhkan. Sebab beleid OJK yang menaikkan retensi asuransi bisa menyulitkan perusahaan asuransi dengan nilai pertanggungan besar.

Menurut Direktur Eksekutif AAUI, Julian Noor, kenaikan retensi memang bisa ditolerir perusahaan asuransi dengan nilai pertanggungan kecil. Tapi tidak bagi perusahaan dengan pertanggungan besar.
OJK ingin mengerek retensi sendiri asuransi hingga 2% dari modal perusahaan asuransi. Rencana tersebut akan dilakukan bertahap. Tahap awal, OJK mengerek retensi sendiri menjadi 1,5% dari 1% saat ini. Aturan ini akan dirilis Oktober nanti dan diterapkan awal 2016.
Selain retensi sendiri, OJK juga menaikkan kapasitas perusahaan asuransi memakai reasuransi lokal. 



Jika Anda Memerlukan Asuransi 

Icon WhatsApp
WhatsApp
No: 0838 9312 8913